apa sih Bid’ah itu ?

apa sih Bid’ah itu ?

 

bismillahirahmanirahim
sahabtku semua yang dirahmati Allah, saat saya mencoba memaparkan kajian diskusi mengenai tahlilan, yasinan dan maulidan langsung saja ada yang bicara itu adalah bid’ah, dengan alasan “Rasulullah SAW tidak pernah memerintahkan dan mencontohkannya. Begitu juga para sahabatnya, tidak ada satupun diantara mereka yang mengerjakannya. Demikian pula para tabi’in dan tabi’it-tabi’in. Dan kalau sekiranya amalan itu baik, tentu mereka akan mendahului kita. kawan, Kerancuan yang terjadi akibat minimnya ilmu dan lemahnya pemahaman itu, semakin diperparah akhir-akhir ini, oleh maraknya fenomena kalangan yang mudah sekali dalam menjatuhkan hukum dan klaim bid’ah atas segala sesuatu, berdasarkan pandangan yang mensimplifikasikan (menyederhanakan) mafhum (pengertian) bid’ah dengan ungkapan global seperti misalnya: bahwa bid’ah adalah setiap hal yang tidak ada pada zaman Nabi Shallallahu ’Alaihi wa Sallam, atau tidak pernah dilakukan oleh beliau. Sehingga segala sesuatu yang baru, tidak ada pada masa Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam, dan tidak pernah beliau lakukan, langsung dan serta merta dihukumi dan diklaim sebagai bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap yang sesat itu di Neraka! Padahal masalahnya sebenarnya tidak sesederhana itu. Karena sederhana saja misalnya, seandainya setiap yang baru dan tidak ada pada masa Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam itu, serta merta dihukumi sebagai bid’ah yang sesat, tentunya tidak perlu ada ijtihad lagi, dan para ulama mujtahid-pun tidak dibutuhkan lagi!


kawan, bagaimana cara kita memahami bidah…
mari kita mengkaji lebih dalam…?
semoga menambah wawasan kita sebuah percakapan yang patut engkau simak mengawali pembicaraan mengenai bidah…
Ketika sebagian orang menolak pembagian Bid’ah pada Bid’ah Hasanah dan Bid’ah Sayyi’ah, maka itu berarti mereka menolak dan menyalahkan ulama’besar seperti al-Imam asy-Syafi’i, Al Hafid Ibnu Hajar, al-Imam a-Nawawi dan Salafus-shalih lainnya, seolah-olah Ulama besar itu hanya berpendapat berdasarkan hawa nafsu dan mengesampingkan al-Qur’an dan Hadits. sungguh betapa sombongnya orang yang berkata demikian…
Penah terjadi dialog menarik. Berikut kami kutib dengan tanda “
A” untuk wakil mereka dan “B” untuk wakil kami.
A : Kami tidak menjelaskan pendapat kami berdasarkan
pikiran kami, tetapi berdasarkan ulama’ salaf juga.
B : Ulama’ salaf yang mana yang Anda maksudkan ?
A : Ulama’ semisal Ibnu Taimiyah.
B : Bukankah telah jelas dalam pembahasan yang lalu, bahwa
definisi Bid’ah semisal Ibnu Taimiyah masih perlu
penjelasan lebih lanjut? Dan kemudian diperjelas oleh
definisi yang dikemukakan oleh As-Syafi’i.
A : Saya rasa definisi dari Ibnu Taimiyah sudah jelas, tidak
perlu penjelasan tambahan.
B : Berarti Anda menafikan adanya bid’ah yang baik.
Kalau demikian, apa pendapat Anda tentang hal-hal baru
seperti mush-haf al-Qur’an, pembukuan Hadits, fasilitas
Haji, Sekolah dan Universitas Islam, Murattal dalam kaset
dan sebagainya yang tidak ada di zaman Nabi?
A : Itu bukan bid’ah
B : Lantas di sebut apa? Apakah hanya akan didiamkan setiap
hal-hal baru tanpa ada status hukum dari agama (boleh
tidaknya). Ini berarti Anda menganggap Islam itu jumud
dan ketinggalan zaman.
A : (Diam).. Baiklah, tetapi kami memiliki ulama’ yang
memiliki penjelasan tidak seperti apa yang Anda jelaskan,
ulama’ kami membagi Bid’ah menjadi dua ; Bid’ah agama
dan Bid’ah Dunia.
B : Nah, memang seharusnya demikian. Lantas, siapa yang
membagi bid’ah menjadi demikian?
A : Ulama’ semisal Albani dan Bin Baz. Berdasarkan Hadits
Rasulullah SAW, “Kalian lebih tahu urusan dunia kalian.”
B : Hadits tersebut bukan hanya ulama Anda yang mengetahui.
Ulama’ salaf telah mengetahui Hadits tersebut, namun
mereka tidak menyimpulkan demikian, karena itu berarti
seakan-akan Nabi ‘mempersilahkan’ manusia untuk
berkreasi dalam urusan dunia sesuka hati, dan Nabi
‘mengaku’ tidak banyak tahu urusan dunia. Baiklah, tidak usah kita berbicara terlalu jauh. Ketika ternyata Anda juga berdalih dengan pendapat ulama Anda, berarti kita sama-sama bersandar pada ulama. Sebuah pertanyaan buat Anda: Apakah Anda lebih percaya pada ulama Anda daripada ulama salaf yang hidup di zaman yang lebih dekat kepada zaman Nabi SAW? Apakah Anda mengira bahwa As-Syafi’i salah mendefinisikan Bid’ah -yang merupakan pokok agama maha penting- kemudian didiamkan saja oleh ulama salaf lainnya tanpa bantahan? Apakah Anda mengira Albani lebih banyak memahami Hadits dari Ibnu Hajar dan an-Nawawi?
A : Terdiam tidak menjawab.
B : Kami rasa tidak mungkin ulama Anda, seperti Ibnu
Taimiyah, Albani dan Bin Baz sampai merasa lebih benar
dari asy-Syafi’i, an-Nawawi, Ibnu Hajar, Al-Baihaqi dan
ulama salaf lainnya. Mungkin ulama Anda hanya sekedar
memiliki pemikiran berbeda, sebagaimana lazimnya ulama
berbeda pendapat tanpa menyalahkan pendapat lain.
Kami rasa Anda saja yang berlebihan dan kemudian
menyalahkan ulama salaf demi membela pendapat ulama
Anda. Kalau benar demikian, maka berarti Anda justru
telah menistakan ulama Anda sendiri
kawanku semua yang dirahmati Allah..
Dalam Kitab Ad Daa’ wad Dawaa’, Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah mengutip ucapan para ulama salaf,
”Bid’ah itu lebih disukai oleh Iblis daripada kemaksiatan, karena bertaubat dari kemaksiatan itu secara umum lebih mudah daripada bertaubat dari bid’ah”. 
Bid’ah adalah setiap bentuk penyimpangan yang diyakini oleh pelakunya sebagai bagian dari Islam dan juga setiap amal yang dianggap syar’i dan diniatkan sebagai bentuk ibadah kepada Allah tanpa adanya dasar yang dibenarkan dalam syariat Islam. Dan hal itu baik berupa keyakinan, pemikiran, amal perbuatan, perkataan, ataupun tindakan meninggalkan sesuatu (dengan niat ibadah).
Bahaya-bahaya Bid’ah
Bid’ah memiliki banyak sekali bahaya. Diantaranya adalah sebagai berikut:
  1. Membuat bid’ah berarti menbuat hukum syariat baru, padahal yang berwenang secara mutlak dalam menbuat hukum dan syariat hanyalah   Allah dan rasul- Nya Shallallahu ’Alaihi Wa Sallam. Sehingga dengan demikian pembuat bid’ah telah memposisikan diri sebagai pesaing dan perampas hak mutlak Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ’Alaihi Wa Sallam dalam membuat hukum dan syariat.
  2. Membuat bid’ah berarti mengada-ada dan berdusta atas nama Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ’Alaihi Wa Sallam.
  3. Setiap bid’ah mengandung muatan tuduhan bahwa syariat Allah masih kurang, sehingga harus ditambah dengan ”syariat” baru yang dibuat-buat oleh pencetus dan pelaku bid’ah.
  4. Setiap bid’ah mengandung muatan pendustaan terhadap Al Qur’an (QS 5: 3)
  5. Setiap bid’ah mengandung muatan tuduhan bahwa Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wa Sallam itu bodoh, dan memuat klaim bahwa ahli bid’ah itu lebih mengetahui syariat daripada beliau Shallallahu ’Alaihi Wa Sallam.
  6. Ada dan maraknya bid’ah mengakibatkan umat Islam merasa tidak butuh kepada Al Qur’an dan sunnah Rasul Shallallahu ’Alaihi Wa Sallam.
  7. Kerasnya ancaman bagi pembuat dan pelaku bid’ah yang menyalahi perintah Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wa Sallam. (QS. 24 : 63)
  8. Amalan bid’ah tertolak dan tidak diterima (lihat HR Muttafaq ’alaih)
  9. Ibadah bid’ah pada hakekatnya merupakan ibadah kepada syetan. Karena dilihat dari peruntukkannya, ibadah itu hanya terbagi dua yakni: ibadah kepada Allah dan ibadah kepada syetan. (QS.36 : 60-61). Maka setiap bentuk amal ibadah yang tidak memenuhi syarat sah ibadah kepada Allah, berarti termasuk dalam kategori ibadah yang kedua, yaitu ibadah kepada syetan, disadari atau tidak, diketahui atau tidak, dan diniatkan atau tidak oleh pelakunya.
Kapan Sesuatu Bisa Benar-benar Disebut Bid’ah?
Sesuatu baru bisa disebut sebagai bid’ah jika memenuhi kriteria-kriteria (syarat-syarat) sebagai berikut:
  1. Merupakan hal baru yang diada-adakan tanpa adanya contoh terdahulu pada masa Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wa Sallam dan para sahabat radhiyallahu ’anhum.
  2. Tidak adanya dasar sama sekali dari Al Qur’an atau As Sunnah atau ijtihad yang mu’tabar (diakui).
  3. Tidak logis atau ada bagian yang tidak bisa dilogikakan atau tidak boleh dilogikakan atau tidak termasuk dalam wilayah akal dan logika.
  4. Diyakini kebenarannya – oleh pembuat atau pelakunya – sebagai bagian dari syariat dan ajaran Islam.
Macam-macam Bid’ah
Bid’ah bisa dibedakan menjadi dua: bid’ah kubra (bid’ah besar) dan bid’ah shughra (bid’ah kecil). Berikut ini penjelasan singkat tentang keduanya.
Bid’ah kubra (bid’ah besar)
  1. Bid’ah kubra tertuju pada bid’ah akidah, ideologi, atau pemikiran.
  2. Penganut bid’ah inilah yang biasa dikenal dengan ahlul bida’ wal ahwaa’ (ahli bid’ah dan pengikut hawa nafsu) atau firaq dhalalah (firqah-firqah sempalan yang sesat).
  3. Hadits tentang perpecahan umat yang terkenal itu secara spesifik juga lebih tertuju pada ahli bid’ah jenis ini.
  4. Induk ahli bid’ah kubra (menurut sebagian ulama) adalah :
  • Khawarij (penentang imam syar’i dan pencetus pemikiran takfir)
  • Rafidhah, yang lebih dikenal dengan sebutan Syi’ah (pengkultus Ahlul Bait)
  • Qadariyah atau Mu’tazilah (penolak rukun iman kepada takdir)
  • Jahmiyah (menafikan sifat-sifat Allah)
  • Murji’ah (berpendapat bahwa, perbuatan dosa tidak mempengaruhi iman sama sekali)
Bid’ah shughra (bid’ah kecil)
Bid’ah shughra sendiri meliputi beberapa jenis bid’ah sebagai berikut.
1. Bid’ah amaliyah , yang meliputi dua hal :
  • Bid’ah dalam tata cara ibadah, yakni melakukan praktek ibadah yang diniatkan untuk Allah dengan cara yang menyalahi dan tidak berdasar pada syariat atau Sunnah Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam.
  • Bid’ah dalam niat dan tujuan ibadah, yakni melakukan praktek ibadah yang boleh jadi tata caranya benar akan tetapi niat dan tujuannya tidak murni untuk taat dan taqarrub ilallah, yakni dengan niat dan tujuan yang tidak syar’i  (tidak disyariatkan), seperti misalnya: melakukan amalan ibadah tertentu dengan niat dan tujuan untuk mendapatkan kesaktian, ”tenaga dalam”, ”karamah”, ilmu ladunni, ilmu kasyaf, dan semacamnya.
2. Bid’ah tarkiyah, ialah kesengajaan meninggalkan sesuatu yang disyariatkan atau yang dibolehkan dengan niat ibadah, seperti misalnya meninggalkan makan daging dengan niat ibadah, memilih hidup vegetarian dengan niat ibadah, tidak menikah dengan niat ibadah, dan sebagainya.
3. Bid’ah idhafiyah, ialah bentuk-bentuk bid’ah dengan menambahkan, menentukan dan meyakini cara-cara, format-format, bilangan-bilangan, fadhilah-fadhilah, waktu-waktu, atau tempat-tempat khusus pada ibadah-ibadah tertentu yang semula (berdasarkan dalil-dalilnya) bersifat umum tanpa disertai adanya ketentuan-ketentuan khusus terkait dengan hal-hal itu.  Contohnya : menetapkan tata cara, format, bilangan, tempat atau waktu khusus yang bersifat baku dalam melakukan dzikir jama’i (dzikir berjama’ah), disertai adanya keyakinan tentang fadhilah dan keutamaan tertentu dari pengkhususan-pengkhususan tersebut (tentu saja tanpa adanya dasar yang dibenarkan secara dalil syar’i atau ’aqli/logika), dan lain-lain. Dan lawan dari bid’ah idhafiyah (penambahan atas pokok ajaran syar’i yang bersifat umum), adalah bid’ah ashliyah, atau bid’ah haqiqiyah -(bid’ah asli, atau bid’ah murni, atau bid’ah hakiki, atau bid’ah yang benar-benar bid’ah, karena baik pokok maupun cabang-cabang dan rinciannya, adalah bid’ah semuanya).
Sementara itu bid’ah juga biasa dibedakan berdasarkan hukum pelakunya menjadi dua macam :
1) bid’ah mukaffirah (bid’ah yang menjadikan pelakunya dihukumi kafir), dan
2) bid’ah mufassiqah (bid’ah yang menjadikan pelakunya dihukumi fasik).
Selain itu bid’ah terbagi pula ke dalam: bid’ah muttafaq ’alaiha (yang disepakani diantara para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah, dan inilah bid’ah yang benar-benar bid’ah itu!), dan bid’ah mukhtalaf fiha (yang diperselisihkan di antara para ulama, dan yang wajib disikapi berdasarkan dan sesuai kaidah-kaidah penyikapan terhadap masalah-masalah khilafiyah pada umumnya [lihat materi Fiqhul Ikhtilaf oleh penulis, atau yang lainnya]).
Dua Catatan :
Pertama: Urgensi Materi Bid’ah
Pembahasan dan pengkajian tentang materi dan masalah bid’ah sangatlah penting dan sangat urgen sekali, dengan tujuan utama secara umum untuk menjaga dan memelihara kemurnian ajaran Islam berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai manhaj (konsep dan pemahaman baku) Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Hal itu baik dalam pemahaman, amal, dakwah, maupun penyikapan. Dan tingkat kebutuhan terhadap pembahasan dan pengkajian seputar tema bid’ah secara benar dan proporsional ini, bertambah dan semakin besar pada akhir-akhir ini, karena adanya beberapa faktor penyebab antara lain sebagai berikut:
  1. Dominan, meluas dan meratanya fenomena lemahnya ilmu dan langkanya para ulama (yang benar-benar berilmu syar’i yang haqq dan manhaji), yang mengakibatkan muncul dan banyaknya beragam kerancuan pemahaman dan penyikapan terhadap berbagai masalah, antara lain masalah bid’ah ini.
  2. Maraknya fenomena bid’ah di tengah-tengah masyarakat dengan bermacam-macam jenis, bentuk, dan tingkatannya, yang menuntut adanya kapasitas ilmu tertentu, bashirah (kejelasan persepsi) dan kewaspadaan, agar minimal tidak terjadi kebingungan dalam penyikapan terhadapnya, dan lebih-lebih lagi agar tidak terpengaruh dan terseret ke dalam arus bid’ah yang deras itu.
  3. Kerancuan yang terjadi akibat minimnya ilmu dan lemahnya pemahaman itu, semakin diperparah akhir-akhir ini, oleh maraknya fenomena kalangan yang mudah sekali dalam menjatuhkan hukum dan klaim bid’ah atas segala sesuatu, berdasarkan pandangan yang mensimplifikasikan (menyederhanakan) mafhum (pengertian) bid’ah dengan ungkapan global seperti misalnya: bahwa bid’ah adalah setiap hal yang tidak ada pada zaman Nabi Shallallahu ’Alaihi wa Sallam, atau tidak pernah dilakukan oleh beliau. Sehingga segala sesuatu yang baru, tidak ada pada masa Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam, dan tidak pernah beliau lakukan, langsung dan serta merta dihukumi dan diklaim sebagai bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap yang sesat itu di Neraka! Padahal masalahnya sebenarnya tidak sesederhana itu. Karena sederhana saja misalnya, seandainya setiap yang baru dan tidak ada pada masa Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam itu, serta merta dihukumi sebagai bid’ah yang sesat, tentunya tidak perlu ada ijtihad lagi, dan para ulama mujtahid-pun tidak dibutuhkan lagi!
  4. Dan itu masih ditambah oleh sikap-sikap yang men-ta’mim (menggeneralisir) bid’ah, dan tidak memilah-milah serta tidak membeda-bedakan antara macam-macam bid’ah, tingkatan-tingkatannya, hukum-hukumnya, dan lain-lain. Misalnya antara bid’ah kubra dan bid’ah shughra, antara bid’ah haqiqiyah dan bid’ah idhafiyah, antara bid’ah muttafaq ’alaiha dan bid’ah mukhtalaf fiha, dan seterusnya.
  5. Terbelahnya sikap banyak kalangan ummat Islam dalam hal bid’ah, menjadi dua kubu yang saling berseberangan dan berhadap-hadapan secara ghuluw (berlebihan) dan tatharruf (ekstrem), sehingga sangat sulit sekali – bahkan seakan-akan mustahil – untuk bisa dipertemukan dan disatukan. Dimana kubu pertama, berlebihan dan cenderung ekstrem dalam sikap longgar dan tasamuh (toleransi)-nya terhadap masalah dan fenomena bid’ah, yang berakibat semakin meluasnya wilayah bid’ah dari berbagai jenis dan tingkatan di tengah-tengah masyarakat. Sementara itu kubu yang berada di seberang lain,ghulu dan cenderung tatharruf  dalam kebencian dan ke-antipati-annya terhadap setiap bid’ah, yang membawanya pada sikap simplifikasi dan generalisasi yang disebutkan diatas.
Kedua : Kaidah-kaidah tentang Masalah Membid’ahkan
Ada masalah yang sangat penting sekali dan yang telah diisyaratkan diatas, yang memerlukan perhatian khusus, kewaspadaan serius dan kehati-hatian istimewa. Yakni masalah membid’ahkan atau menghukumi suatu amal, atau suatu ibadah, atau suatu aktivitas, atau semacamnya dengan hukum bid’ah. Begitu pula masalah sikap membid’ahkan atau menghukumi orang tertentu atau kelompok tertentu dengan hukum sebagai ahli bid’ah. Masalah ini sungguh sangat berbahaya, dan butuh perhatian serius! Apalagi jika mencermati fenomena sikap gegabah sebagian kalangan yang gampang sekali dalam menjatuhkan hukum bid’ah atas segala sesuatu. Ditambah lagi dengan maraknya fenomena sikap saling membid’ahkan di tengah keragaman kelompok, jamaah dan gerakan dakwah Islam saat ini. Karena kesalahan para pembid’ah yang membid’ahkan apa yang sebenarnya termasuk sunnah, secara umum sama bahayanya dengan kesalahan para pembuat dan pelaku bid’ah itu sendiri. Adapun bahaya sikap gegabah dalam membid’ahkan seseorang atau suatu kelompok, maka bisa diketahui antara lain dari kaidah bahwa, jika seseorang itu tidak berhati-hati dalam menghukumi orang lain atau kelompok lain sebagai ahli bid’ah, sehingga ternyata salah, maka hukum bid’ah itu bisa berbalik kepada diri yang bersangkutan sendiri (qiyas pada masalah takfir/pengkafiran yang disebutkan dalam beberapa hadits riwayat Bukhari, Muslim, dan lain-lain).
Para ulama menyatakan bahwa, tidak semua yang tidak ada pada masa Nabi Shallallahu ’Alaihi wa Sallam, atau tidak dilakukan oleh beliau, itu mesti langsung dan serta merta dihukumi sebagai bid’ah yang sesat. Demikian pula seseorang yang melakukan suatu kebid’ahan yang hakiki sekalipun, tidak mesti langsung dan serta merta diklaim dan dihukumi sebagai ahli bid’ah yang sesat dan menyesatkan! Karena untuk menjatuhkan hukum dimaksud, membutuhkan dua hal sekaligus : terpenuhinya syarat-syarat dan tidak adanya faktor-faktor penghalang! Intinya, ada beberapa hal dan kaidah yang harus diperhatikan dalam masalah ini, antara lain :
  1. Masalah membid’ahkan atau menjatuhkan hukum bid’ah adalah termasuk dalam cakupan tasyri’ (membuat hukum syariat) yang merupakan kewenangan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ’Alaihi wa Sallam. Maka pada prinsipnya, kita tidak boleh membid’ahkan apa-apa atau orang-orang atau kelompok-kelompok yang tidak ”dibid’ahkan” oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ’Alaihi wa Sallam.
  2. Oleh karenanya, sikap dasar yang harus dimiliki oleh seorang muslim dalam masalah ini adalah sikap kehati-hatian puncak. Karena memang sikap gampang membid’ah-bid’ahkan ini termasuk masalah besar dalam hukum Islam, dan dampaknya berbahaya sekali, baik bagi pelaku maupun bagi masyarakat Islam secara luas.
  3. Mengingat betapa pelik dan berbahayanya masalah menjatuhkan hukum bid’ah dan ahli bid’ah ini, maka yang berhak melakukannya hanyalah para ulama yang benar-benar mendalam ilmunya. Karena masalah ini memang masuk dalam wilayah ijtihad.
  4. Menjatuhkan hukum bid’ah atas suatu amal atau suatu hal, dan juga hukum sebagai ahli bid’ah atas orang tertentu atau kelompok tertentu, haruslah didasarkan pada keyakinan penuh yang tidak menyisakansyubhat atau keragu-raguan sedikitpun terkait dengan telah terpenuhinya syarat-syaratnya dan tidak adanya faktor-faktor penghalangnya. Jadi, harus jelas dalilnya dan memang sesuai dengan fakta, tidak boleh didasarkan pada dugaan-dugaan atau asumsi-asumsi atau persepsi-persepsi yang tidak pasti atau tidak terbukti!
  5. Terhadap berbagai bentuk bid’ah – dan demikian pula berbagai bentuk penyimpangan lainnya – yang marak di tengah masyarakat, kita harus mengedepankan dan mendominankan sikap dan posisi sebagai juru dakwah dan bukan sebagai ”hakim”! Maka sangatlah tepat kiranya jika kita menjadikan judul buku salah seorang pemuka dakwah kontemporer sebagai slogan tetap kita, yakni: ”Du’aatun Laa Qudhaat!” (Kita adalah juru dakwah dan bukan hakim!).
  6. Kita wajib memahami sejak awal bahwa, bid’ah itu bukan hanya satu macam saja, melainkan bermacam-macam. Bid’ah juga tidak berada pada satu tingkatan dan satu derajat yang sama, namun berada pada tingkatan dan derajat yang berbeda-beda. Dan kita wajib ber-ta’amul (bersikap) dengan setiap bid’ah sesuai dengan macam, jenis dan tingkatannya  masing-masing, serta tidak melakukan ta’mim(generalisasi) dalam penilaian dan penyikapan terhadap semua bid’ah yang ada. Sehingga tidak dibenarkan misalnya kita menyikapi jenis bid’ah shughra sebagaimana kita menyikapi jenis bid’ah kubra. Begitu pula sangat tidak diterima jika kita memberlakukan bid’ah mukhtalaf fiiha (bid’ah  yang diperselisihkan) sama seperti perlakuan kita terhadap bid’ah muttafaq ’alaiha (bid’ah yang disepakati). Dan begitu seterusnya.
  7. Kita wajib membedakan dalam penilaian dan penyikapan antara bid’ah dan pelakunya, antara pelaku bid’ah dan tokoh pencetusnya, antara pelaku bid’ah pasif dan pelaku bid’ah aktif, antara pelaku bid’ah awam dan pelaku bid’ah ”ulama”, dan seterusnya.
  8. Kita harus senantiasa ingat kaidah yang mengatakan, bahwa tidak setiap orang yang melakukan kebid’ahan (yang jelas-jelas bid’ah sekalipun!) itu mesti diklaim sebagai mubtadi’ (ahli bid’ah), sebagaimana tidak setiap pelaku kefasikan itu mesti dihukumi sebagai orang fasik, bahkan tidak setiap orang yang melakukan kekufuran dan kesyirikan itu mesti secara otomatis dipastikan sebagai orang kafir dan musyrik!. Begitu pula misalnya, ketika kita bersikap bara’ terhadap setiap bentuk kebid’ahan, atau kefasikan, atau kemaksiatan, tidak berarti sekaligus dan serta merta kita juga harus bersikap bara’secara sama terhadap pelakunya!
  9. Adapun terhadap mereka yang jelas-jelas dan tegas-tegas menghidupkan bid’ah – terutama bid’ah ideologis berupa penyimpangan-penyimpangan pemikiran dalam prinsip-prinsip ajaran Islam – maka kita juga harus bisa bersikap jelas dan tegas. Namun juga tetap harus hikmah, bijak dan proporsional, serta yang jelas tidak anarkis! Dengan demikian, kita memiliki sikap yang proporsional, kapan harus berhati-hati dan kapan harus bersikap tegas! (from http://hasanalbanna.com)
kawanku semua yang baik..
Orang yang gemar melontarkan kata bid’ah biasanya akan berkata: “Rasulullah SAW tidak pernah memerintahkan dan mencontohkannya. Begitu juga para sahabatnya, tidak ada satupun diantara mereka yang mengerjakannya. Demikian pula para tabi’in dan tabi’it-tabi’in. Dan kalau sekiranya amalan itu baik, tentu mereka akan mendahului kita.”
Mereka juga berkata: “Kita kaum muslimin diperintahkan untuk mengikuti Nabi, yakni mengikuti segala perbuatan Nabi. Semua yang tidak pernah beliau lakukan, kenapa justru kita yang melakukannya? Bukankah kita harus menjauhkan diri dari sesuatu yang tidak pernah dilakukan Nabi SAW, para sahabat dan ulama-ulama salaf? Melakukan sesuatu yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi adalah Bid’ah”.
Kaidah-kaidah seperti itulah yang sering mereka jadikan pegangan dan mereka pakai sebagai perlindungan, juga sering mereka jadikan sebagai dalil dan hujjah untuk melegitimasi tuduhan Bid’ah terhadap semua amalan baru. Mereka menganggap setiap hal baru -meskipun ada maslahatnya dalam agama- sebagai Sesat, haram, munkar, syirik dan sebagainya’, tanpa mau mengembalikannya kepada kaidah-kaidah atau melakukan penelitian terhadap hukum-hukum pokok (dasar) agama.
Ucapan seperti diatas adalah ucapan yang awalnya haq namun akhirnya batil, atau awalnya shahih namun akhirnya fasid (rusak). Pernyataan bahwa Nabi SAW atau para sahabat tidak melakukan si anu adalah benar. Akan tetapi pernyataan bahwa semua yang tidak dilakukan oleh Nabi dan sahabat itu sesat adalah sebuah Istimbath (penyimpulan hukum) yang keliru.
Karena tidak-melakukan-nya Nabi SAW atau salafus shalih bukanlah dalil keharaman amalan tersebut. Untuk ‘mengecap’ sebuah amalan boleh atau tidak itu membutuhkan perangkat dalil dan sejumlah kaidah yang tidak sedikit.
Kaidah mereka yang menyatakan bahwa setiap amalan yang tidak dikerjakan Nabi dan sahabat adalah Bid’ah hanya berdalih dengan Hadits-hadits bid’ah dalam pengertian zhahir, tanpa merujuk pada penjelasan yang mendalam dari ulama salaf.
Al-Imam Ibnu Hajar berkata: “Hadits-hadits shahih mengenai suatu persoalan harus dihubungkan antara satu dengan yang lain, untuk dapat diketahui dengan jelas tentang pengertiannya yang mutlak (lepas) dan yang muqayyad (terikat). Dengan demikian maka semua yang diisyaratkan oleh Hadits-hadits itu dapat dilaksanakan (dengan benar).”
Ketika kita mengemukakan pendapat ulama, sebagian orang membantah dengan penyataan bahwa Hadits lebih utama untuk diikuti dari pendapat siapapun. Itu berarti ia mengira bahwa pendapat ulama itu tidak berdasarkan al-Qur’an atau Hadits, melainkan berdasarkan akal atau hawa nafsu. Maka takutlah kepada Allah dan janganlah bersu’uzhon pada ulama shaleh.
Baiklah, mari kita telaah Hadits-hadits terkait dengan pembahasan ini, kita lihat saja apakah mereka berpendapat berdasarkan Hadits sedangkan ulama shaleh itu hanya berpendapat dengan akal atau hawa nafsu.
 
http://temonsoejadi.wordpress.com/2012/06/09/apa-sih-bidah-itu/

Komentar

Postingan Populer