Generasi Penerus Bangsa !
Assalamu'alaikum. wr. wb.
Ini adalah tulisan dan bahasan saya yang berikutnya, entah kenapa ? saya sangat tertarik dengan tema 'tawuran'. Lusa, hari minggu 15 april 2012 sore hari tepatnya saya dalam perjalanan menuju kota depok melewati sebuah jalan yang bernama, Jl. Raya Bogor.
Sempat heran dan bingung, karena di bibir jalan tersebut ramai oleh beberapa oknum polisi yang berjaga ketat (saya kira ada tilang). hahaha maklum belum buat SIM.
Ternyata para polisi itu sedang berjaga di sekitar ruas jalan karena di tempat itu sedang terjadi tawuran pelajar yang berlangsung sengit.
Sangat disayangkan sekali, dan betapa memprihatinkannya generasi penerus bangsa ini. Yang tidak memahami arti kehidupan yang sangat bermanfaat jika di gunakan dengan kegiatan positif.
"TAWURAN WARISAN BUDAYA YANG MEMALUKAN"
Ini adalah tulisan dan bahasan saya yang berikutnya, entah kenapa ? saya sangat tertarik dengan tema 'tawuran'. Lusa, hari minggu 15 april 2012 sore hari tepatnya saya dalam perjalanan menuju kota depok melewati sebuah jalan yang bernama, Jl. Raya Bogor.
Sempat heran dan bingung, karena di bibir jalan tersebut ramai oleh beberapa oknum polisi yang berjaga ketat (saya kira ada tilang). hahaha maklum belum buat SIM.
Ternyata para polisi itu sedang berjaga di sekitar ruas jalan karena di tempat itu sedang terjadi tawuran pelajar yang berlangsung sengit.
Sangat disayangkan sekali, dan betapa memprihatinkannya generasi penerus bangsa ini. Yang tidak memahami arti kehidupan yang sangat bermanfaat jika di gunakan dengan kegiatan positif.
"TAWURAN WARISAN BUDAYA YANG MEMALUKAN"
Negeri
ini mewarisi satu budaya yang memalukan, yakni budaya tawuran. Dari
lapisan masyarakat tingkat paling atas hingga terbawah, kerap
mempertontontan perilaku buruk itu. Elit politik saling mengumbar caci
maki di media, pejabat yang suka adu jotos, tawuran warga antar kampung,
seakan sudah menjadi tradisi turun temurun. Semua itu menjadi menu
sehari-hari di layar kaca, terutama sejak era reformasi bergulir. Jadi,
jangan heran jika para pelajar ikut-ikutan tawuran.
Memang tidak semua pelajar gemar tawuran. Sebagian besar masih fokus
menjalankan tugas belajar. Sebagian lainnya malah mengukir prestasi
hingga tingkat internasional. Namun, di kota-kota besar, fenomena
tawuran pelajar tetap saja mendominasi berita di layar kaca maupun media
cetak dan online.
Seperti yang terjadi sepekan ini. Lantaran memakan korban para kuli
tinta, kekerasan pelajar di SMA 6 Jakarta terus diupdate oleh beberapa
media nasional. Yang terjadi kemudian adalah saling melempar opini dan
tuduhan antara insan media yang menjadi korban dengan pihak sekolah yang
mati-matian membela anak didiknya. Alih-alih menyelesaikan persoalan
tawuran yang menjadi pokok masalah, kedua kubu malah baku lapor ke pihak
berwajib.
Kericuhan itu dimulai saat kameraman Trans 7, Oktaviardi mengambil
gambar aksi tawuran yang diduga dilakukan siswa SMA 6 pada Jumat
(16/92011) pekan lalu. Namun, siswa yang terlibat tawuran tidak senang
diambil gambarnya. Mereka kemudian merampas kaset video hasil rekaman
kameraman Trans 7. Senin 19 September 2011 puluhan wartawan melakukan
aksi damai di depan SMA 6, mereka menuntut agar pihak sekolah
bertanggung jawab atas aksi perampasan tersebut.
Disayangkan, aksi tersebut berujung ricuh. Puluhan siswa memukuli
wartawan hingga babak belur, mengakibatkan sedikitnya lima wartawan
mengalami luka. Wartawan Seputar Indonesia Yudhistiro salah satunya yang
menjadi korban, saat kejadian pria berperawakn tinggi ini dihantam
dengan batu bata di kepala bagian belakang.
Yudhistira sempat mendapat perawatan di Rumah Sakit Pusat Pertamina.
Selain Yudhistira, Panca Syurkani wartawan foto Media Indonesia mengaku
juga mendapat serangan dari siswa SMA 6. Beberapa bagian tubuh Panca
mengalami memar. Kini kasus ini masih dalam penyelidikan Polres Jakarta
Selatan.
Di SMA 6 Jakarta sendiri, tawuran sepertinya sudah menjadi budaya
bagi sebagian siswa. Betapa tidak, aksi tawuran sudah seperti menjadi
agenda mingguan. Wakil Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta yang juga
alumni SMA 6, Agus Suradika, mengakui bahwa budaya tak terpuji tersebut
sudah terjadi sejak tahun 80-an. "Ini almamater saya juga," ujarnya.
Namun, Agus mengaku tidak mengetahui secara pasti, berapa kali aksi
tawuran yang melibatkan penerusnya. Ia hanya mengisahkan bahwa dulu
jadwal tawuran pun sudah ditetapkan. Agus sendiri tak banyak terlibat
di tawuran. Sebab, ia memiliki jurus jitu untuk menghindari aksi
tersebut. Agar tidak terlibat tawuran, sepulang sekolah orang tua Agus
selalu menjemput ke sekolah. "Jadi, sederhana saja, mereka tawuran saya
pulang," ujarnya.
Namun, saat ini para pelajar lebih sulit menghindari aksi tawuran.
Sebab, orang tua siswa pada sibuk kerja, sehingga jarang yang bisa
menjemput anaknya di sekolah. Selain itu, solidaritas dalam urusan
kekerasan itu kian berkembang. Toh bukan berarti aksi tawuran tidak
bisa dicegah.
Menurut Agus, pihak pertama yang bertanggung jawab adalah para guru
dan pengelola sekolah. Namun persoalan pelik itu bulan hanya tangggung
jawab pihaka sekolah semata. Terlebih jika aksi tersebut terjadi pada
malam hari. "Ini persoalan makro, jadi bukan hanya masalah sekolah tapi
menyangkut lingkungan yang lebih luas," ujarnya.
Memang bukan perkara mudah menghentikan budaya tawuran. Pasalnya,
tawuran terkait juga dengan maraknya budaya premanisme yang sudah
menjerat negeri ini di segala aspek. Jadi,faktor di luar pendidikan ikut
memicu lahirnya budaya premanisme di sekolah. Karena itu, semua pihak
harus ikut ambil bagian dalam memberantas budaya tawuran pelajar di
negeri ini.
Pemerintah berperan menghapuskan tayangan berbaru kekerasan yang
merajalela di layar kaca. Sudah tugas negara untuk menjaga mental
rakyatnya dari informasi media massa yang merusak. Sedangkan pihak
sekolah bertanggung jawab untuk membentengi anak didik dari perilaku
barbar, dengan lebih banyak menggelar kegiatan yang bermanfaat, terutama
di bidang kerohanian.
Bagaimanapun, guru adalah teladan bagi murid-muridnya. Ia bukan hanya
bertugas mengajar di kelas, tapi juga membimbing murid-muridnya di luar
sekolah. Saat teladan guru hilang, siswa sekolah pun menjadi beringas.
Buntutnya, tawuran pun kerap terjadi.
Menurut Sosiolog Musni Umar, salah satu yang melatarbelakangi tawuran
siswa lantaran terjadi degradasi teladan guru-guru. "Makin jarang figur
guru yang mendidik dan memberi teladan para siswanya," ujarnya.
Padahal di Jabodetabek, guru-guru sekolah negeri digaji dengan
layak. Selain gaji sebagai PNS, ada tunjangan dari Dinas Pendidikan.
Masih ditambah lagi pendapatan lain dari penjualan buku, atau tunjangan
lain dari internal sekolah. Sayangnya, peningkatan kesejahteraan itu
tidak diikuti dengan peningkatan kualitas. (HP)
http://www.gatra.com/nasional-cp/1-nasional/2810-tawuran-pelajar-wa=
Dari seragkaian artikel yang saya baca di atas, sangat di sayangkan sekali dengan adanya kejadian yang tidak berguna tersebut dan seperti yang kita ketahui bahwa hari ini adalah hari serentak dimana seluruh pelajar akan menghadapi UJIAN NASIONAL.
Komentar
Posting Komentar