Mengasah Sikap Kritis Anak
Mengasah Sikap Kritis Anak
Jangan langsung
"dibantai" kala si kecil bawel bertanya, karena bisa mematikan sikap
kritisnya. Ia justru harus diberi banyak rangsangan.
Bila dibandingkan teman-teman sebayanya yang cenderung banyak tanya dan kritis, Boby kebalikannya. Kala bermain pun ia lebih banyak mengekor apa kata teman-temannya. Tentu saja hal ini membuat Ny. Hani cemas. Nah, bila si kecil Anda juga seperti Boby, berarti Anda harus introspeksi, apakah dulu Anda merangsang si kecil atau tidak?
Bila dibandingkan teman-teman sebayanya yang cenderung banyak tanya dan kritis, Boby kebalikannya. Kala bermain pun ia lebih banyak mengekor apa kata teman-temannya. Tentu saja hal ini membuat Ny. Hani cemas. Nah, bila si kecil Anda juga seperti Boby, berarti Anda harus introspeksi, apakah dulu Anda merangsang si kecil atau tidak?
Seperti dikatakan Hera L. Mikarsa,
Ph.D., seringkali orang tua menganggap semuanya sudah oke apabila
anaknya tak rewel, sehingga tak merasa perlu untuk memberi rangsangan
sama sekali. Selain itu, yang kerap tak disadari orang tua ialah
menganggap anaknya masih kecil dan merekalah yang paling tahu, sehingga
mereka cenderung mengatur, menggurui, dan mengkritik. "Anak tak diberi
kesempatan untuk mengemukakan pendapat atau mendapat hak suara. Yang
harus didengar dan dipatuhi hanyalah omongan ayah atau ibunya saja."
Kalau sudah begitu, akhirnya si anak
tentu jadi sebal dan takut untuk bersikap kritis. Habis, setiap kali
berpendapat selalu dipotong, "Anak kecil tahu apa? Sudah, diam saja,
jangan turut campur!" Begitu, kan, yang sering terjadi? Orang tua
"lupa", dengan bersikap demikian, anak akhirnya jadi cenderung diam dan
mengekor apa pendapat orang lain demi agar ia aman. Tapi coba kalau ia
diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat tanpa merasa takut akan
"dibantai" oleh orang tuanya, maka ia akan menggali segala potensinya
untuk berpikir. Makin hari ia pun akan makin terampil mengelola
pikirannya.
JAWABAN SINGKAT
Pada anak
normal, artinya tak terbelakang, terang Hera, pola penalarannya akan
melalui tahapan-tahapan tertentu. Mula-mula ia akan bertanya tentang
fakta-fakta, yaitu bertanya tentang "apa". Seiring dengan bertambahnya
umur, ia makin memahami kenyataan yang ada di lingkungannya, sehingga ia
pun mengembangkan rasa ingin tahunya dengan pertanyaan "mengapa". Nah,
"mengapa" ini tentunya butuh penjelasan, butuh nalar. "Biasanya orang
tua langsung panik duluan ketika ditanya macam-macam oleh anak. Apalagi
kalau pertanyaannya sulit," tutur psikolog dari Fakultas Psikologi UI
ini.
Yang terjadi kemudian, karena tak bisa
menjawab, orang tua lantas memotong pertanyaan anaknya atau malah
menjawab secara ngawur. "Mereka juga jadi tak suka kalau anaknya
berbicara," lanjutnya. Padahal, terang Hera, anak sebenarnya tak butuh
jawaban yang panjang-panjang dari orang tua. "Yang diperlukan anak
adalah jawaban simpel, sesuai dengan kemampuan berpikirnya." Tapi
itulah, orang tua cenderung berpikir sebagai orang dewasa, tak masuk ke
jalan pikiran anak.
Pernah, ungkap Hera, keponakannya saat melihat acara Dunia Dalam Berita di TVRI yang menayangkan tentang kelaparan di Ethiopia tiba-tiba berkata, "Tante, kok, Tuhan sekarang jahat, ya?" "Saya pun kaget mendengarnya," aku Hera. "Lantas saya tanya, 'Kenapa kamu bilang begitu? Dia jawab, 'Lo, itu, Tuhan membiarkan banyak orang mati dan kelaparan.' Nah, berarti nalarnya jalan, kan? Kalau Tuhan baik, kenapa banyak orang mati dan kelaparan?" Jadi, tandas Hera, orang tua jangan hanya menangkap omongan anak, tapi juga mencari tahu penalarannya seperti apa. "Dari situ kita bisa masuk untuk mengarahkan jika ternyata penalarannya salah."
Pernah, ungkap Hera, keponakannya saat melihat acara Dunia Dalam Berita di TVRI yang menayangkan tentang kelaparan di Ethiopia tiba-tiba berkata, "Tante, kok, Tuhan sekarang jahat, ya?" "Saya pun kaget mendengarnya," aku Hera. "Lantas saya tanya, 'Kenapa kamu bilang begitu? Dia jawab, 'Lo, itu, Tuhan membiarkan banyak orang mati dan kelaparan.' Nah, berarti nalarnya jalan, kan? Kalau Tuhan baik, kenapa banyak orang mati dan kelaparan?" Jadi, tandas Hera, orang tua jangan hanya menangkap omongan anak, tapi juga mencari tahu penalarannya seperti apa. "Dari situ kita bisa masuk untuk mengarahkan jika ternyata penalarannya salah."
...Dengan selalu menanyai anak tentang alasan anak berkomentar, bukan hanya akan melatih kemampuan berbahasanya saat mengemukakan pendapatnya, tapi juga membuatnya merasa dihargai...
Sayangnya, banyak orang tua yang tak
punya waktu untuk bertanya dan langsung bilang, "Eh, kamu enggak boleh
bilang begitu. Tuhan nggak boleh dibilang jahat. Dosa!" Akhirnya, anak
pun diam. Ya, matilah daya kritisnya. Dia akan berpikir, "Nanti aku akan
dimarahi Mama (Papa) kalau bilang Tuhan jahat." Padahal logika si anak
sedang jalan. Lagi pula, tambah Hera, dengan selalu menanyai anak
tentang alasan ia berkomentar demikian, bukan hanya akan melatih
kemampuan berbahasanya saat mengemukakan pendapatnya, tapi juga
membuatnya merasa dihargai.
LEWAT INTERAKSI DALAM KELUARGA
Anak prasekolah, lanjut Hera, tengah berkembang pesat rasa ingin tahunya. "Ia akan banyak tanya, bahkan terkesan bawel. Saat itulah sebenarnya orang tua mengasah sikap kritisnya. Semakin dini anak diasah sikap kritisnya akan semakin baik. Pokoknya, sejak anak mengenal komunikasi sudah bisa diasah." Adapun caranya, sama seperti pengembangan sikap yang lain, yaitu diasah lewat interaksi dalam keluarga. Pada waktu makan, misalnya, tumbuhkan diskusi antar keluarga.
Kakak dan adik bercerita, sementara orang tua memberikan masukan dan menanggapi. Bisa juga lewat buku cerita bergambar. "Dengan memperlihatkan buku bergambar atau cerita pada anak, maka anak akan banyak bertanya, entah tentang gambar atau cerita tersebut." Atau, lewat permainan seperti permainan balok. "Minta anak mengklasifikasikan ke bentuk yang sama, lalu tanyakan kenapa ia mengelompokkannya demikian. Dengan begitu, penalaran anak berjalan dan anak pun jadi kritis mengembangkan daya nalarnya."
LEWAT INTERAKSI DALAM KELUARGA
Anak prasekolah, lanjut Hera, tengah berkembang pesat rasa ingin tahunya. "Ia akan banyak tanya, bahkan terkesan bawel. Saat itulah sebenarnya orang tua mengasah sikap kritisnya. Semakin dini anak diasah sikap kritisnya akan semakin baik. Pokoknya, sejak anak mengenal komunikasi sudah bisa diasah." Adapun caranya, sama seperti pengembangan sikap yang lain, yaitu diasah lewat interaksi dalam keluarga. Pada waktu makan, misalnya, tumbuhkan diskusi antar keluarga.
Kakak dan adik bercerita, sementara orang tua memberikan masukan dan menanggapi. Bisa juga lewat buku cerita bergambar. "Dengan memperlihatkan buku bergambar atau cerita pada anak, maka anak akan banyak bertanya, entah tentang gambar atau cerita tersebut." Atau, lewat permainan seperti permainan balok. "Minta anak mengklasifikasikan ke bentuk yang sama, lalu tanyakan kenapa ia mengelompokkannya demikian. Dengan begitu, penalaran anak berjalan dan anak pun jadi kritis mengembangkan daya nalarnya."
...Dalam kehidupan sehari-hari pun orang tua bisa mengasah daya nalar anak.Tentunya, rangsangan yang diberikan pada anak harus disesuaikan dengan kemampuannya...
Dalam kehidupan sehari-hari pun orang
tua bisa mengasah daya nalar anak. Misalnya, saat ibu memakaikan
diapers pada celana sang adik, ibu bisa bilang, "Adik harus pakai
diapers supaya celananya tak basah." Dengan memberikan penjelasan dan
pengetahuan, daya nalar anak pun berkembang. Yang tak boleh dilupakan,
terang Hera, rangsangan dari luar ikut menentukan kekritisan anak.
"Itulah pentingnya kesadaran orang tua untuk selalu memberi pengetahuan
sebanyak mungkin pada anak. Cobalah kalau hari libur, ajak anak
berjalan-jalan ke kebun binatang, ke pantai atau ke tempat-tempat yang
dapat menambah wawasan anak. Dengan pengetahuan yang banyak, maka akan
mempertajam daya pikir anak."
Tentunya, rangsangan yang diberikan pada anak harus disesuaikan dengan kemampuannya. "Orang tua, kan, pasti tahu kemampuan anaknya sudah seberapa jauh. Dengan demikian ia tahu, anaknya bisa memahami pada tahap yang bagaimana. Kalau anaknya cuma baru bisa bicara sepatah dua patah kata, tentunya tak perlu menuntut anak menjelaskan secara panjang lebar. Yang singkat dan sederhana saja pun oke." Selain itu, jangan lupa memberi kesempatan pada anak untuk bersosialisasi dengan teman sebayanya. "Dalam suasana yang egaliter dengan teman sebayanya, biasanya anak terasah sikap kritisnya. Coba saja dengarkan obrolan antar anak, bagaimana mereka saling mengunggulkan dan menyangkal pendapat teman-temannya."
CONTOH DARI ORANG TUA
Tapi jangan salah, lo, mengembangkan sikap kritis bukan berarti anak boleh seenaknya mengkritik orang lain. Misalnya, si kecil keceplosan, "Ih, Tante, kok, gendut sekali, sih!" Orang tua harus mengingatkan, "Kamu enggak boleh bilang begitu di depan orangnya." Bila ia bertanya, "Mengapa?", jawablah, "Karena omonganmu itu akan melukai hatinya. Kamu juga enggak suka, kan, kalau disakiti?"
Tentunya, rangsangan yang diberikan pada anak harus disesuaikan dengan kemampuannya. "Orang tua, kan, pasti tahu kemampuan anaknya sudah seberapa jauh. Dengan demikian ia tahu, anaknya bisa memahami pada tahap yang bagaimana. Kalau anaknya cuma baru bisa bicara sepatah dua patah kata, tentunya tak perlu menuntut anak menjelaskan secara panjang lebar. Yang singkat dan sederhana saja pun oke." Selain itu, jangan lupa memberi kesempatan pada anak untuk bersosialisasi dengan teman sebayanya. "Dalam suasana yang egaliter dengan teman sebayanya, biasanya anak terasah sikap kritisnya. Coba saja dengarkan obrolan antar anak, bagaimana mereka saling mengunggulkan dan menyangkal pendapat teman-temannya."
CONTOH DARI ORANG TUA
Tapi jangan salah, lo, mengembangkan sikap kritis bukan berarti anak boleh seenaknya mengkritik orang lain. Misalnya, si kecil keceplosan, "Ih, Tante, kok, gendut sekali, sih!" Orang tua harus mengingatkan, "Kamu enggak boleh bilang begitu di depan orangnya." Bila ia bertanya, "Mengapa?", jawablah, "Karena omonganmu itu akan melukai hatinya. Kamu juga enggak suka, kan, kalau disakiti?"
...Tapi mengembangkan sikap kritis bukan berarti anak boleh seenaknya mengkritik orang lain...
Jadi, ada nalarnya, bahwa sesuatu itu
tak boleh dilakukan karena ada nalarnya. Tentunya, anak juga harus
diajarkan melihat hal-hal positif dari dirinya sendiri dan orang lain.
"Ajarkan juga bahwa mengkritik orang boleh-boleh saja, tapi ada caranya.
Ada yang dengan cara manis dan ada pula dengan cara agresif," tutur
Hera. Untuk anak kecil, contoh dari orang tua sangat diperlukan,
bagaimana orang tua mempraktekkan sikap kritis dalam kehidupan
sehari-hari. "Kritis tapi tetap ada rambu-rambunya, lo." Karena itu,
Hera berpendapat, tak ada salahnya bila ayah dan ibu berdebat di depan
anak, karena dapat memberi contoh secara langsung pada anak. "Tentunya
pilih perdebatan yang layak untuk didengar anak. Kalau perdebatan itu
tak baik didengar anak, ya, jangan lakukan di depan anak."
MUDAH BERADAPTASI
Nah, sudah paham, kan, Bu-Pak? Tapi tak perlu berkecil hati bila sang buah hati tak seperti teman-teman sebayanya yang kritis, karena tak selamanya ia akan demikian. "Bukankah anak selalu berubah? Perubahan ini bisa terjadi karena terbawa lingkungannya," tutur Hera. Misalnya, lingkungannya atau teman-temannya terdiri dari orang-orang yang kritis, banyak omong, banyak tanya, maka ia pun bisa jadi terbawa dan akhirnya ikut berpikir kritis pula. Tapi jangan lupa, belum tentu anak akan mendapatkan lingkungan yang kritis.
Itulah mengapa Hera menekankan, "alangkah baiknya jika sikap kritis diasah dari rumah." Apalagi, tambahnya, pengajaran di sekolah semakin tinggi, semakin menuntut pikiran yang kritis dari siswanya. Memang, aku Hera, di SD hingga SMU banyak pelajaran yang tak mendukung anak berpikir kritis. "Anak diberi hapalan melulu. Namun di perguruan tinggi, anak dituntut untuk berpikir kristis." Nah, kalau ia tak diasah sejak kecil, bagaimana ia bisa berpikir analitik dan kritis? (rps/tn)
MUDAH BERADAPTASI
Nah, sudah paham, kan, Bu-Pak? Tapi tak perlu berkecil hati bila sang buah hati tak seperti teman-teman sebayanya yang kritis, karena tak selamanya ia akan demikian. "Bukankah anak selalu berubah? Perubahan ini bisa terjadi karena terbawa lingkungannya," tutur Hera. Misalnya, lingkungannya atau teman-temannya terdiri dari orang-orang yang kritis, banyak omong, banyak tanya, maka ia pun bisa jadi terbawa dan akhirnya ikut berpikir kritis pula. Tapi jangan lupa, belum tentu anak akan mendapatkan lingkungan yang kritis.
Itulah mengapa Hera menekankan, "alangkah baiknya jika sikap kritis diasah dari rumah." Apalagi, tambahnya, pengajaran di sekolah semakin tinggi, semakin menuntut pikiran yang kritis dari siswanya. Memang, aku Hera, di SD hingga SMU banyak pelajaran yang tak mendukung anak berpikir kritis. "Anak diberi hapalan melulu. Namun di perguruan tinggi, anak dituntut untuk berpikir kristis." Nah, kalau ia tak diasah sejak kecil, bagaimana ia bisa berpikir analitik dan kritis? (rps/tn)
Komentar
Posting Komentar